Menyikapi Musibah 

Karena kita manusialah kita dapat salah dan khilaf, goyah hati mungkin juga iman ketika didera ujian dan musibah. Musibah itu dengan rasa sedemikian rupa dalam diri kita bisa saja menggoyahkan dan meledakkan amarah, seperti ingin berteriak, seperti seolah bumi sedang menghimpit kita dan berbagai rasa yang lainnya yang tentunya tidak ingin kita rasakan.

Yakinlah setiap umat pasti ada ujian nya sendiri dalam berbagai bentuk dan keadaan yang kita mungkin tidak bisa rasakan ujian /musibah orang lain itu.
Orang yang bertambah keimanannya adalah punya ujian yang berbeda dengan yang biasa saja tingkat taqwa dan keimanannya. Tapi itu semua hak mutlak Allah untuk menguji siapapun dengan kadar yang seperti apa. Kita tentu tak bisa tawar menawar bahkan memempertanyakan ‘kenapa saya di uji seperti ini, ?’ dan kita secara batin hati merasa tidak sanggup, berat sekali. 

Namun ringan dan berat adalah hal kita manusia. Seandainya musibah dan ujian hidup itu adalah sakit kita, insyaallah kita juga akan diberi penawarnya atau jalan keluarnya.
Keimanan yang tidak terkikis dan rasa percaya yang tidak goyah kepada sang Khalik ketika ujian atau musibah itu dating menjadi poin yang amat penting. Bukankah Allah berfirman:
bahwa Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya (Al-Baqarah: 286)

Dan bila kita meyakininya bahwa ujian atau musibah adalah hal Allah untuk meninggikan kwalitas keimanan kita?

Apakah kita masih ikhlas bersyukur dengan musibah sebaik kita bersyukur mendapat kenikmatan? Bahkan meresapkan dalam kalbu musibahpun adalah kenikmatan Allah? yang secara manusiawi kita merasakannya berbeda dengan kenikmatan kebahagian.

Atau apakah kita merasa makin meningkat keimanannya ( dengan tidak riya kepada hamba Allah lainnya) sehingga kita pantaslah diuji oleh Nya.
Firman Allah lainnya: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS al-’Ankabuut [29]: 2)

Selama kita berinteraksi dengan manusia lainnya di bumi ini sepanjang itulah ujian hidup akan terus terjadi . Bahkan ujian dan musibah itu bisa datang dari orang yang dekat dengan kita, keluarga kita, anak –istri kita dan apakah kita menyikapinya sama dengan mereka? Ini juga akan jadi ujian keimanan ganda buat kita.
Firman Allah lagi: Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar. (At-Taghabun [64]: 14-15)

Marilah kita menyikapi musibah secara ikhlas hati. Walau kadang hati manusiawi kita merasakan luka dan perih namun lihatlah secara kacamata keimanan. Lihatlah hikmah, lihatlah pelajaran dibaliknya. Bahkan mungkin cara Allah memberi kita hidayah. Subhanallah.
Allah menyayangi kita dengan cara nya yang terbaik. Walau kadang kita merasa ‘kok gini cara Allah menguji saya’ Kembali kepada kita menyikapi dengan cara pandang keimanan, keikhlasan.
Dalam kondisi musibah yang kita anggap hal paling parah dalam hidup teruslah ingat kepada Allah, jangan kendur dan turun, justru makin meningkat. Berbagilah dengan sahabat terbaik dan orang terdekat kita yang juga dapat memahami kita secara emosional dan secara keimanan.
Dan yang terpenting curhatlah pada Nya sang pemilik hidup. Menangislah bila ingin menangis dan berkeluh kesah. Yang pasti jangan pernah goyahkan iman kita atas percaya kita dan berbaik sangkanya kita kepada Allah. Dia Maha sumber segala berkah dan pemberi jalan keluar bahkan diluar dari apa yang tidak kita sangka.